Minggu ke-18, SIKAP TERHADAP SEKULARISME

170. Pert     :     Apakah sekularisme yang banyak kita dengar sekarang ini berhubungan dengan ketidakmampuan manusia memfungsikan iman dan akal budi secara saling menunjang?
        Jwb    :     Benar. Sekularisme adalah buah ketidakmampuan manusia.
                       
171. Pert     :     Apa sebenarnya sekularisme itu?
        Jwb    :     Sekularisme adalah suatu pandangan yang sekaligus sikap hidup yang mengedepankan hal-hal duniawi. Hal ini  merupakan suatu akibat dari perkembangan kehidupan manusia yang lazim disebut sekularisasi.

172. Pert     :     Apa sekularisasi itu?
        Jwb    :     Sekularisasi adalah sebuah proses perkembangan kehidupan manusia menuju ke makin tingginya pengetahuan manusia, baik mengenai dirinya maupun mengenai alam, dengan konsekuensi makin tinggi penguasaan, pengolahan dan penggunaan alam oleh manusia untuk menunjang kehidupannya. Pendukung utama sekularisasi itu adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan teknik.
                       
173. Pert     :     Dalam artinya yang demikian, bukankah sekularisasi itu secara manusiawi wajar sepenuhnya?
        Jwb    :     Benar. Pada dirinya sekularisasi secara manusiawi adalah wajar, bahkan merupakan suatu keharusan bagi manusia sebagai mandataris Allah atas alam. Yang tidak wajar adalah akibatnya, yaitu sekularisme.
                                [Kej.1:28-30]

174. Pert     :     Apakah yang disebut sekularisme itu sama dengan atheisme?
        Jwb    :     Di dalam sekularisme memang ada penolakan terhadap Allah, baik sebagai realitas maupun sebagai penguasa atas alam. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa di dalam sekularisme ada atheisme. Tetapi kita perlu ingat bahwa tidak semua atheisme berasal dari sekularisme.
                       
175. Pert     :     Beriringan dengan sekularisme ialah saintisme. Apakah itu?
        Jwb    :     Saintisme adalah pandangan yang sekaligus sikap hidup, yang menempatkan ilmu pengetahuan (latin: scientia) di atas segala-galanya, sehingga dijadikan dan diyakini sebagai instansi tertinggi, yang menentukan kebenaran dengan dalilnya, yaitu bahwa yang benar itu hanya yang dapat dibuktikan secara ilmiah.

176. Pert     :     Seiring dengan saintisme ialah teknologisme. Apakah itu?
        Jwb    :     Teknologisme ialah pandangan yang sekaligus juga sikap hidup yang mengandalkan teknologi sedemikian, sehingga mengangkat kemampuan teknologi sebagai yang menentukan pemecahan masalah-masalah etis, bahkan hal-hal yang menyentuh kemanusiaan manusia.
                       
177. Pert     :     Kalau demikian halnya, bagaimana seharusnya sikap orang percaya menghadapi sekularisme, saintisme dan teknologisme?
        Jwb    :     Tanpa jatuh ke dalam sekularisme, saintisme dan teknologisme, orang percaya menerima dan berada di dalam sekularisasi sambil mewaspadai diri dengan berpegang pada tiga pandangan dasar, yaitu:
1.   Manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan teknik untuk menopang kehidupannya, itu adalah oleh karena Allah.
2.   Sebagai satu-satunya mandataris Allah atas alam, manusia juga satu-satunya makhluk yang harus bertanggungjawab atas alam. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan, teknologi dan teknik harus difungsikan dengan benar sehingga dapat membawa manusia untuk menguasai, mengolah, menggunakan dan memelihara alam demi kesejahteraan umat manusia.
3.   Betapapun besarnya peranan ilmu pengetahuan, teknologi dan teknik di dalam dan untuk kehidupan manusia, namun tidak dapat berfungsi sebagai intansi tertinggi yang menentukan kebenaran untuk segala bidang kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan, teknologi dan teknik juga tidak dapat menentukan pemecahan masalah-masalah etis. Justru etika yang menentukan dapat tidaknya dipertanggungjawabkannya penguasaan, pengembangan dan penggunaan ilmu pengetahuan, tekonologi dan teknik di dalam kehidupan manusia.        


Minggu ke-19, PANDANGAN TENTANG KEHIDUPAN BERNEGARA

178. Pert     :     Apakah orang percaya perlu menerima kehidupan bernegara dan menjalaninya?
        Jwb    :     Orang percaya menerima dan menjalani kehidupan di dunia ini dengan serius, sebab itu ia juga menerima dan menjalani kehidupan bernegara dengan tanggung jawab.
                                [Rm.13:1-7; Tit.3:1; 1 Ptr.2:13,14,17]

179. Pert     :     Apa yang menjadi dasar bagi orang percaya untuk menentukan sikap dan menjalani kehidupan bernegara?
        Jwb    :     Dasar kehidupan bernegara adalah pemahaman tentang hakikat dan watak keberadaan negara di bawah terang Alkitab.

180. Pert     :     Bagaimana orang percaya memahami hakikat negara?
        Jwb    :     Negara adalah suatu bentuk kehidupan bersama manusia dengan cakupan paling luas dan dengan kekuasaan paling besar.
                       
181. Pert     :     Asas-asas apa saja yang perlu dijadikan pedoman oleh orang percaya dalam menjalani kehidupan bernegara?
        Jwb    :     Ada tiga asas yang perlu dijadikan pedoman oleh orang percaya dalam menjalani kehidupan bernegara, yaitu:
1.   Asas kebutuhan manusia. Negara adalah kebutuhan yang wajar dan bahkan tak terelakkan bagi manusia modern.
2.   Asas anti-totaliterisme. Negara hanyalah salah satu bentuk kehidupan bersama manusia. Oleh karena itu, negara tidak berhak menguasai bentuk-bentuk kehidupan bersama manusia yang lain.
3.   Asas keanekaan kehidupan. Manusia diberi kebebasan oleh Tuhan untuk mewujudkan sendiri kehidupannya. Oleh sebab itu, kehidupan manusia sangat beraneka, sehingga negara harus menghormati kekayaan kehidupan manusia.
                                [Konsekuensi dari keberadaan manusia sebagai mitra keberadaan Allah (Kej.2:18-25); sebagai yang diciptakan menurut gambar Allah (Kej.1:27,28)]

182. Pert     :     Bagaimana seharusnya orang percaya memahami ciri khas negara?
        Jwb    :     Ciri khas negara terletak di dalam kehidupannya yang berpusat pada pelaksanaan kekuasaan, sehingga seluruh rakyat mengakui dan tunduk kepada pelaksanaan kekuasaan itu. Ini lazim disebut asas kekuasaan negara.
                                [Rm.13:1-7; Tit.3:1; 1Ptr.2:13,14,17]

183. Pert     :     Dari manakah asal kekuasaan negara, sehingga orang percaya mengakui dan tunduk kepada kekuasaan negara?
        Jwb    :     Kekuasaan negara berasal dari rakyat. Ini lazim disebut asas kedaulatan rakyat. Di dalam kehidupan negara, rakyat menghibahkan kekuasaan kepada negara agar negara dapat diselenggarakan.
                                [Konsekuensi dari Kej.1:27,28]

184. Pert     :     Kekuasaan negara harus diwujudnyatakan agar penyelenggaraan negara dapat berjalan. Bagaimanakah cara mewujudnyatakan kekuasaan negara?
        Jwb    :     Pada prinsipnya ada dua cara mewujudkan secara konkret kekuasaan negara, yaitu:
1.      Menyerahkan kekuasaan negara kepada pribadi.
2.      Melembagakan kekuasaan negara menjadi lembaga kekuasaan negara.
                                [Fenomena kehidupan negarawi; 1Ptr.2:13,14]

185. Pert     :     Dari antara kedua cara itu, orang percaya seharusnya memilih yang mana?
        Jwb    :     Mengingat begitu besarnya kekuasaan negara, maka sangat berbahaya apabila menyerahkan kekuasaan negara kepada pribadi. Oleh karena itu, cara yang paling tepat adalah mewujudkan kekuasaan negara di dalam lembaga kekuasaan negara. Inilah yang lazim disebut asas lembaga kekuasaan negara.
                                [Band. Ams.15:22; 11:14; 20:18]

186. Pert     :     Apa fungsi dasar lembaga kekuasaan negara?
        Jwb    :     Ada tiga fungsi dasar lembaga kekuasaan negara, yaitu:
1.      Memegang kekuasaan negara.
2.      Menentukan tujuan penggunaan kekuasaan negara.
3.      Menentukan siapa yang menjadi pemegang kekuasaan negara.
       
187. Pert     :     Bagaimanakah prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang diterima oleh orang percaya?
        Jwb    :     Ada enam prinsip kehidupan bernegara yang diterima oleh orang percaya, yaitu:
1.      Prinsip pengawasan. Setiap pemegang kekuasaan negara adalah manusia biasa yang berada dalam kondisi dosa, sehingga dapat menyalahgunakan kekuasaannya.  Oleh karena itu, setiap pemegang kekuasaan negara membutuhkan pengawasan. [Pkh.3:7-13]
2.      Prinsip negara hukum. Karena ada bahaya pemegang kekuasaan negara berlaku sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dipegangnya, maka setiap penggunaan kekuasaan negara di dalam penyelenggaraan negara harus dituangkan di dalam hukum. [Band.Ams.21:29]
3.      Prinsip negara demi manusia. Alasan adanya negara adalah untuk manusia itu sendiri, tujuan negara dan pelaksanaan kekuasaan negara adalah manusia itu sendiri. [Rm.13:4a]
4.      Prinsip negara kesejahteraan. Adanya negara demi manusia diwujudnyatakan dalam tujuan negara.  Tujuan negara untuk menciptakan kehidupan yang dapat dinikmati oleh semua yang terlibat di dalamnya sebagai kehidupan yang sejahtera sesuai dengan martabat manusia. Prinsip negara demi manusia juga disebut prinsip negara kesejahteraan. [Rm.13:4,5; Tit.3:1,8 (perhatikan ayat 8, ophelimo = berguna); 1Ptr.2:14]
5.      Prinsip martabat manusia. Allah memperlakukan manusia sesuai dengan martabatnya, membimbing orang percaya kepada suatu asas bahwa di dalam kehidupan bernegara hormat terhadap martabat manusia harus menjadi norma etis yang tertinggi. Dengan demikian setiap kebijakan penyelenggaraan negara dipandang benar bila menghargai martabat manusia. [Kej.9:6; Mrk.12:31; Kol.3:10; 1Ptr.2:17]
6.      Prinsip hak-hak asasi manusia. Untuk melindungi rakyat dari perlakuan tidak adil, maka negara membuat Undang-undang Hak-hak Asasi Manusia. Dengan Undang-undang tersebut, baik pemegang kekuasaan negara maupun rakyat mempunyai pegangan yang jelas untuk menghormati, membela atau mempertahankan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara.