GKJ hidup dalam zaman perkembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan munculnya teknologi yang menyebabkan revolusi komunikasi.  Pesawat-pesawat terbang besar tanpa henti menyediakan transportasi antar benua yang amat cepat; kapal-kapal angkut raksasa memindahkan ratusan ribu ton muatan ke segala pelosok dunia. Radio-satelit memungkinkan orang berbicara antar benua, seperti dengan tetangga sebelah rumah. Program-program televisi menyeruak menembus dinding-dinding kamar tidur. Teknik pendidikan yang memanfaatkan sarana audio-visual dan komputer memungkinkan murid-murid semakin cerdas dan trampil. Globalisasi menerpa kehidupan di seluruh dunia. Dunia seakan-akan berubah menjadi satu desa yang besar, tanpa dapat dibendung.

Dengan demikian dapat difahami timbulnya keinginan GKJ untuk mengkaji kembali warisan ajarannya, yang berasal dari tempat dan waktu yang demikian jauh berbeda. GKJ kini menghadapi dunia yang lain sama sekali dari dunia Jerman dan Belanda pada Abad ke-17, tatkala warisan ajarannya dirumuskan. Oleh sebab itu GKJ berusaha untuk bertindak sebagai umat Allah yang bertanggung jawab untuk berfungsi dalam karya penyelamatan Allah, yaitu bersaksi.

3.   Proses penyusunan  PPA GKJ

Sejak timbul keinginan GKJ untuk menyusun ajarannya sendiri[1]) seperti yang terekam dalam Akta Sinode XVI GKJ 1981 artikel 47[2]), ada suatu prakarsa yang muncul di lingkungan Klasis Salatiga. Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. mempersiapkan  naskah awal yang diterima oleh Klasis Salatiga, yang kemudian diusulkan sebagai naskah awal PPA GKJ.[3])  Sidang Sinode Kontrakta 1992 membentuk Tim Pokok-pokok Ajaran GKJ, dengan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th. sebagai konvokator; Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. sebagai anggota, dibantu oleh 9 anggota yang lain, yaitu: Pdt. Widjojo Hadipranoto, BD., Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, Th.M., Pdt. Djaka Soetapa, D.Th., Pdt. Sularso Sopater, D.Th., Dr. J. Sardi, Sunarso, M.Sc., Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th., Pdt. Humphrey Sudarmadi K., S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Hadi Purnomo, SH.

Hasil pekerjaan Tim PPA GKJ dilaporkan kepada Sidang Sinode XXI, dan memperoleh pembahasan intensif. Sidang ini kemudian membentuk Tim baru, untuk melanjutkan pekerjaan Tim lama, sambil menampung usul-usul yang masuk dalam sidang sinode tersebut. Tim ini diketuai oleh Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th, sekretaris: Pdt. Drs. Sukardi Citro Dahono, anggota: Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th.  Di samping itu dibentuk Tim Pembaca terdiri dari 4 orang, yaitu: Pdt. Dr. Sularso Sopater, Pdt. Iman Sugiri, S.Th., Pdt. Bambang Mulyatno, S.Th., M.Si., Pdt. David Rubingan, M.Th. dan seluruh Klasis di lingkungan Sinode GKJ.[4])

Setelah melalui suatu proses panjang, yaitu 12 tahun, pada akhirnya dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996, PPA GKJ diterima dan disahkan sebagai suatu dokumen gerejawi yang bersifat mengikat. Meneruskan tradisi lama, semua pejabat gereja, tatkala diteguhkan dalam jabatan (tua-tua dan diaken) atau ditahbiskan (pendeta) membubuhkan tanda tangan mereka sebagai pernyataan dan janji bahwa dalam melakukan tugas jabatan gerejawi serta menjalani hidup sehari-hari mereka akan setia berdasarkan Alkitab seperti yang diterangkan dalam PPA GKJ tersebut.[5])

4.   Penyederhanaan dan penyempurnaan sebagian isi PPA GKJ

Sejak dipergunakannya PPA GKJ  mulai tahun 1996, timbul reaksi positif dan negatif dari lapangan. Ada yang berpendapat bahwa PPA GKJ 1996 ini telah memenuhi kebutuhan “masa kini”-nya GKJ, dan sudah sesuai untuk menjawab tantangan-tantangan yang konkret dari konteksnya. Ada pula yang berpendapat bahwa cara penyajiannya sangat akademis, sehingga warga yang berpendidikan sederhana mengalami kesulitan untuk memahami.

Masalah seperti ini merupakan hal yang wajar dalam proses. Usul-usul dan saran-saran ditampung oleh Sidang-sidang Sinode pasca 1996, dan dibentuk Tim guna menampung sumbang saran untuk kesempurnaan PPA GKJ.

Dalam Sidang Sinode Antara GKJ Tahun 2000 (Artikel 54), Sidang memutuskan menugasi Deputat Keesaan untuk membentuk Tim Revisi PPA GKJ dengan tugas:
1.      Menyempurnakan sebagian isi.
2.      Menyerderhanakan bahasa.
3.      Menterjemahkan ke dalam bahasa Jawa (krama madya)
4.      Menyusun buku penjelasan.

Tim tersebut terdiri dari: Pdt. Simon Rachmadi, M.Hum. (Ketua), Pdt. Aris Widaryanto, S.Th. (Sekretaris), Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th., Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th., Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th, dan Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th.

Dalam Sidang Sinode XXIII GKJ di Wonogiri Tahun 2002, Deputat Keesaan melaporkan bahwa Tim yang telah dibentuk tersebut belum dapat menyelasaikan tugasnya. Oleh karena itu Sidang kembali menugasi Deputat Keesaan untuk mengangkat Tim Revisi PPA GKJ yang baru dengan tugas yang sama (Artikel 23).

Personalia Tim terdiri dari: Pdt. Andreas U. Wiyono, S.Th. (Ketua), Pdt. Aris Widaryanto, S.Th. (Sekretaris), Pdt. Sularso Sopater, D.Th., dan Pdt. Bambang Mulyatno, M.Si. Adapun hasilnya dilaporkan dan dibahas dalam Sidang Sinode Non-Reguler GKJ di Bandungan – Ambarawa tahun 2005.

5.   Kesinambungan dan perubahan

GKJ melanjutkan pilihan untuk berjalan pada jalur tradisi reformasi gerejawi Abad 16. Walaupun Katekhismus Heidelberg telah  diganti oleh PPA GKJ 1996, namun inti ajaran Katekhismus Heidelberg tetap dipelihara dalam PPA GKJ, yaitu bahwa keselamatan manusia itu hanya karena anugerah Allah (sola gratia), melalui Kristus saja (solo Christo), yang diterima hanya melalui iman (sola fide), sumber ajaran gereja hanyalah dari Alkitab (sola scriptura).

GKJ dalam kemandirian untuk menjawab tantangan konteks konkretnya serta perubahan zaman dan kebudayaan yang dialaminya, mengembangkan pemikiran baru dalam mengambil sikap terhadap agama dan kepercayaan lain yang ada di sekitarnya. Mengenai perkembangan IPTEK, GKJ menyadari bahwa mustahil untuk mendesak para warganya yang sebagian adalah para ilmuwan untuk “percaya tanpa bertanya”, sehingga perlu mengembangkan sikap secara baru. Sementara itu sebagai bagian dari bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang berkembang dan membangun jati-diri, GKJ juga menentukan pokok-pokok sikapnya terhadap negara secara kritis.[6])

6.   Pendekatan

Dalam penyusunannya PPA GKJ memilih pendekatan soteriologis (berkenaan dengan keselamatan). Dari awal sampai akhir pokok mengenai keselamatan sangat ditekankan. Hal tersebut dapat kita temukan dari kata-kata kunci: selamat, keselamatan, dan kata-kata yang bertautan dengan keselamatan yang tersebar di seluruh dokumen ini. Misalnya :  warga gereja sebagai orang yang sudah diselamatkan, kesempurnaan keselamatan, penyelamatan Allah, Allah Sang Juru Selamat, karya penyelamatan-Nya, penghayatan keselamatan, sejarah penyelamatan Allah, kondisi tidak selamat, tidak mampu menyelamatkan diri, asas-asas penyelamatan Allah, masa penyelamatan, mempertahankan keselamatan, perjalanan keselamatan, tanda-tanda penyelamatan, terpelihara keselamatannya, diselamatkan oleh penyelamatanNya dan sebagainya.

Adapun “benang merah” pemikiran soteriologisnya tergambar melalui pokok-pokok pikiran: bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia dalam keadaan baik. Namun manusia jatuh ke dalam dosa sehingga manusia berada dalam kondisi tidak selamat. Karena kasih dan anugerahNya, Allah berkenan menyelamatkan manusia melalui karya penyelamatanNya. Karya penyelamatan Allah itu teranyam di dalam sejarah kehidupan manusia, dan dilakukan dengan cara membangun kembali hubungan yang harmonis melalui pengampunan dosa. Sejarah penyelamatan Allah tersebut berpusat pada tiga peristiwa yang utuh dan berkesinambungan, yaitu peristiwa bangsa Israel, peristiwa manusiawi Yesus dan peristiwa Roh Kudus.

Pada akhirnya sejarah penyelamatan Allah melalui pengampunan dosa yang terjadi karena karya penebusan Kristus itu, diluaskan kepada segala bangsa sampai akhir zaman. Gereja sebagai umat milikNya ditugasi untuk bersaksi tentang penyelamatan Allah.

Pilihan untuk memilih pendekatan soteriologis ini tentu membawa konsekuensi tersendiri, karena hasilnya tentu berbeda dengan apabila dipilih pendekatan lain. Misalnya: perubahan dalam penjelasan mengenai ketritunggalan Allah, mengenai tugas-tugas gereja dan sebagainya. Nampaknya pendekatan ini dipilih oleh karena tahap berfikir secara fungsional pada waktu ini, lebih dapat diterima oleh manusia yang hidup di zaman modern. Apabila benar demikian – seperti dapat disimpulkan dari persetujuan sidang Sinode Terbatas 1996 – maka para utusan gereja ke sidang tersebut telah memilih cara berfikir secara modern.[7])

Bahwa timbul ketidaksetujuan dari sebagian warga gereja, haruslah diterima sebagai kenyataan di lapangan, oleh karena tidak seluruh warga GKJ siap untuk berolah-fikir secara modern secara serentak dan serta merta. Menjadi penting bagi GKJ untuk memberi peluang bagi usaha untuk saling mengerti. Harus diakui bahwa ada tahap-tahap berfikir dalam sejarah kebudayaan, dan perbedaan-perbedaan tahap berfikir ini mempengaruhi cara orang memahami masalah-masalah. Oleh sebab itu dikembangkan usaha untuk memahami dan saling memahami, sehingga PPA GKJ 1996 dapat menjadi alat bantu dalam memacu GKJ menjadi saksi yang lebih berdaya guna pada awal Abad ke-21 ini.


[1])  Dapat ditelusuri mulai dari Akta Sinode 1969, 1971, 1975, 1976, 1978, 1981.
[2]) Akta Sinode XVI GKJ, 1981, Art. 47, ayat 2: “Menugaskan Dr. Harun Hadiwijono untuk menyusun buku katekisasi baru yang isinya juga memperhatikan konteks Indonesia/Jawa pada masa kini.”
[3])  Kita diingatkan kepada peran Zakharias Ursinus dan Caspar Olevianus dalam penyusunan Katechismus Heidelberg dan Guido de Bres dalam penyusunan  Confessio Belgica.
[4])  Band. PPA GKJ, h. 3,4.
[5])  Band. PPA GKJ, h. 126.
[6])  Band. PPA GKJ 1996, kulit belakang.
[7])  Baca uraian di pokok yang berikut.