PENDAHULUAN
Untuk membantu memahami dengan baik buku Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ), perlu terlebih dahulu disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Status PPA GKJ sebagai dokumen gerejawi
Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (selanjutnya disingkat: PPA GKJ) disahkan dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996.[1]) Dengan demikian dokumen ini memperoleh status resmi gerejawi, yang memuat isi kepercayaan gereja dan pedoman hidup bagi warga gereja. Dokumen ini dinyatakan berlaku sejak disahkan dan baru akan berubah status apabila dikehendaki oleh gereja-gereja, melalui suatu keputusan Sidang Sinode GKJ di waktu yang akan datang.
2. Latar belakang penyusunan PPA GKJ
Sejak kelahiran GKJ sebagai suatu sinode gereja pada tanggal 17 Februari 1931 GKJ memberlakukan kitab Piwulang Agami Kristen[2]), yang berlaku sebagai buku pedoman kepercayaan dan pedoman hidup di lingkungan GKJ sampai tahun 1996. Setelah mempergunakan dokumen warisan selama 65 tahun, GKJ merasa perlu untuk menggantikan dokumen warisan itu dengan suatu dokumen yang dihasilkannya sendiri sebagai wujud kemandirian sembari menjawab kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sangat mendesak.
Langkah penting ini seperti disebut dalam Pengantar PPA GKJ edisi 1997 diuraikan sebagai berikut. Sejak 1984, dalam Sidang Sinode XVII terungkap bahwa GKJ menghendaki untuk menyusun ajarannya sendiri. Adapun sebab-sebab yang diketengahkan adalah: Pertama, sebagai gereja yang mandiri GKJ perlu menentukan sendiri ajarannya. Kedua, sesuai dengan sifat dan status mandiri atau kedewasaannya, warisan yang diterima itu harus dikaji kembali dengan sikap kritis. Ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu berdasarkan Alkitab. Kalau ternyata ada penafsiran yang tidak sesuai dengan penafsiran yang bertanggungjawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah. Sementara yang sesuai tetap dipertahankan. Keempat, karena tantangan yang dihadapinya adalah konkret, maka ajaran yang dirumuskan harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam menjawabnya.[3])
Alasan-alasan tersebut di atas dapat difahami oleh karena Katekhismus Heidelberg itu telah disusun dalam waktu yang berbeda tiga setengah abad, di negeri yang berbeda dan untuk memenuhi kebutuhan serta menjawab tantangan yang berbeda pula. Seperti tercatat dalam sejarah gereja, Katekhismus Heidelberg disusun oleh dua orang teolog dari Heidelberg, yaitu Zakharias Ursinus dan Caspar Olevianus, pada tahun 1562, berdasarkan pola pemikiran Yohanes Calvin, reformator gereja dari Geneva, Negeri Swis. Pada tahun 1563, atas kehendak raja wilayah Friedrich III, diterima sebagai pedoman ajaran gereja di negara bagian Pfalz, Jerman bagian Barat.
Katekhismus Heidelberg ini kemudian juga diterima oleh gereja-gereja Calvinis di Negeri Belanda, bersama dokumen-dokumen lain[4]) hasil perumusan gereja-gereja di Negeri Belanda, berdasarkan pergumulan-pergumulan yang mereka alami pada Abad ke-17 itu. Agenda pemikiran gereja, dalam hal ini gereja Calvinis Belanda adalah konsolidasi gereja menurut faham Calvinisme, dalam konteks reformasi gereja yaitu berhadapan dengan faham Roma Katolik. Konteks makronya adalah Eropa Barat, yang hampir seluruhnya menganut agama Kristen, sementara faktor agama-agama lain belum diperhatikan karena belum menjadi masalah yang konkret bagi mereka. Konteks global masih sangat terbatas, karena komunikasi belum berkembang. Masyarakatnya baru mengenal kereta kuda dan kapal layar, belum ada mobil, pesawat terbang dan radio. Ilmu Pengetahuan dan Filsafat sedang bertumbuh pada taraf awal sejarah modern, yang didominasi oleh tahap pemikiran mitis maupun ontologis yang muncul kemudian.
GKJ lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial, penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. Di zaman modern pasca kolonialisme ini, yaitu zaman kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah setelah Perang Dunia II, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar. Indonesia kini bukan lagi bangsa terjajah, tetapi berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain, yang menghargai persamaan dan keadilan.
GKJ hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk menurut anutan agama dan aliran kepercayaan, yaitu agama Islam, Kristen (Protestan/ Katholik) dengan berbagai denominasi dan aliran di mana GKJ berada di dalamnya, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu, serta berbagai kepercayaan dan aliran-aliran lainnya.
Di samping itu, GKJ yang mempunyai nuansa etnis dan kultural, juga merupakan bagian dari kemajemukan suku-suku bangsa dan bahasa di Indonesia. Menurut para ahli ada lebih dari 400 bahasa lisan yang dipergunakan di seluruh Indonesia, berikut keanekaragaman adat dan budayanya. GKJ berada dalam suatu masyarakat yang bersifat “Bhinneka Tunggal Ika” yang harus mengembangkan suatu cara hidup bersama tersendiri di tengah masyarakatnya.
[2]) Terjemahan bahasa Jawa dari Katekhismus Heidelberg tahun 1563, yang melalui gereja induk di Nederland (=Gereformeerde Kerken in Nederland) diterima sebagai warisan pokok-pokok kepercayaan Kristen.
[4]) y.i. Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica) susunan Guido de Bres (1561) dan Keputusan-keputusan Sinode Dordrecht 1618 (Lima Pasal Melawan Remonstran), ketiga dokumen itu sering disebut: Tiga Pasal Keesaan, Band. Dr. H. Berkhof & Dr. I.H.Enklaar, Sedjarah Geredja, Djakarta: Badan Penerbit Kristen, h.191.